Budi Suci
Perguruan Budi Suci didirikan oleh Haji Abdul Rosyid. Aliran ini
banyak menyebar ke Jawa dan
Sumatra. Sidik, murid dari H Abdul Rosyid,
pada tahun 1985 mengatakan bahwa jurus tenaga
dalam Budi Suci diwarnai
keilmuan Abah Khoir dan Nampon. Begitu halnya dengan aliran yang
banyak
berkembang di Jawa Tengah, seperti Ragajati di Banyumas, JSP (Jurus Seni
Penyadar) di
Tegal dan beberapa aliran di Semarang.
Di pulau Jawa, Budi Suci berkembang di wilayah pantai utara ke arah
timur mulai dari Jakarta, Bekasi, Karawang, Cikampek, Kuningan,
Indramayu dan Cirebon, Semarang, Rembang dan tahun 1983 di Sirahan,
Cluwak, Pati Utara.
Dari kalangan Budi Suci atau perguruan yang mengambil sumber dari
aliran yang didirikan H Abdul Rosyid ini setidaknya ada 3 nama tokoh
yang disebut-sebut dalam “ritual” yaitu Madi, Kari dan Syahbandar.
Dari aliran Budi Suci yang keilmuannya konon bersumber dari Khoir dan
Nampon, juga tidak berani mengklaim bahwa tenaga dalam itu bersumber
(hanya) dari Nampon seorang. Begitu halnya kalangan yang mengambil
sumber dari Margaluyu.
Kalangan Budi Suci, menganalisa bahwa Namponlah yang patut dianggap
sebagai pencipta, karena dalam ritual (wirid), nama-nama yang disebut
adalah Madi, Kari dan Syahbandar (Syeh Subandari), sedangkan nama Nampon
tidak disebut-sebut. Ini menunjukkan bahwa inspirasi ilmu berasal dari
tokoh sebelum Nampon, walau nampon yang kemudian merangkum dan
menyempurnakannya. Namun kesimpulan itu diragukan mengingat pada masa
pendekar Madi, Kari, Sahbandar ini tenaga dalam belum dikenal.
Terbukti, dalam suatu peristiwa saat Madi diserang kuda binal juga
mematahkan kaki kuda dengan tangkisan tangannya, dan Khoir guru dari
Nampon saat bertarung dengan pendekar Kung Fu, juga menggunakan
selendang untuk mengikat lawannya pada pohon pinang. Artinya, jika
tenaga dalam itu sudah ada, dan mereka-mereka itu adalah pakarnya,
kenapa musti pakai selendang segala? Kenapa tidak pakai “jurus kunci”
agar pendekar Kung Fu itu tidak bisa bergerak.
Justru pemanfaatan tenaga dalam itu baru tercatat pada era Nampon
tahun 1930-an. Kasus “histeris” saat menyambut kelahiran anaknya di
depan stasiun Padalarang, dan pertarungan Nampon dengan Jawara Banten
juga saat melayani tantangan KM Thamim yang (setelah kalah) lalu berguru
kepadanya.
Silat Bandarkarima
Bandarkarima adalah kependekan dari Syahbandar, Kari dan Madi. Yosis
Siswoyo, Guru Besar aliran Bandarkarima Bandung saat dikonfirmasi,
mensinyalir bahwa kemunculan tenaga dalam di wilayah Jawa Barat secara
terbuka memang terjadi pada masa Nampon sepulang dari penjara Digul.
Namun demikian Yosis tidak berani memastikan pencipta jurus tenaga
dalam itu Nampon seorang, mengingat pada masa yang hampir bersamaan, di
Batavia/Jakarta juga muncul aliran Sin Lam Ba dan Al-Hikmah, bahkan pada
tahun yang hampir bersamaan, di daerah Ranca Engkek Bandung Andadinata
memunculkan ilmu tenaga dalam yang diklaim asli hasil pemikirannya
sendiri.
Yosis Siswoyo (63) dari Silat Bandarkarima termasuk kalangan pendekar
generasi tua di Bandung juga mengakui dari kalangan perguruan pencak
silat dan tenaga dalam memang kurang mentradisikan dalam pelestarian
sejarah perguruannya.
Walau Yosis menyebut Nampon dan Andadinata sebagai tokoh yang banyak
berjasa mengenalkan tenaga dalam di wilayah Jawa Barat, namun kemunculan
Sin Lam Ba dan Al-Hikmah di Batavia pada kurun waktu yang hampir
bersamaan, (bahkan disinyalir lebih dulu) juga perlu dipertimbangkan
bagi yang ingin melacak sejarah.
Tenaga dalam di Pantura Jawa
Perkembangan tenaga dalam di wilayah eks Karisedenan Pati tak lepas
dari peran Perguruan Satya dibawah asuhan alm. Soeharto – Semarang.
Satya berkembang di wilayah Pati awalnya dibawa oleh murid Soeharto
bernama Subiyanto asal Jepara. Namun Subiyanto kemudian membuat
perguruan Mustika. Walau perguruan ini hanya muncul sesaat kemudian
tidak terdengar lagi.
Pada akhir tahun 70-an Satya masuk wilayah Pati dengan corak yang
saat itu dianggap tabu karena berlatih pada tempat terbuka pada siang
hari. Ini berbeda dengan aliran lain yang memilih berlatih secara
sembunyi-sembunyi.
Satya lebih mudah diterima masyarakat karena sifatnya yang terbuka,
lebih njawani dan tidak bernaung dibawah partai politik tertentu bahkan
menerima anggota dari semua agama, walau dalam ritualnya Satya tidak
jauh beda dengan aliran Budi Suci yang dikembangkan oleh Bang Ali yang
saat itu juga banyak berkembang di Jawa Tengah.
Kesamaan Satya dengan Budi Suci disebabkan alm. Soeharto mengenal
jurus tenaga dalam itu berasal dari Yusuf di Tanjung Pinang, dan Yusuf
adalah murid dari alm. Sidik, salah satu dari murid H Abdul Rosyid sang
pendiri aliran Budi Suci.
Dalam lingkup pergruannya, Soeharto hampir tidak pernah
menyebut-nyebut nama Yusuf sebagai sang guru. Ini disebabkan adanya hal
yang sangat pribadi berkaitan dengan sang guru yang WNI keturunan itu.
Justru Soeharto lebih sering menyebut nama Sidik, walau pertemuan
keduanya itu baru berlangsung pada awal tahun 80-an.
Ketika Masruri, putra H. Ali Ridlo dan pengurus Satya Sirahan, Cluwak
berhasil menemukan Sidik di Cilincing, Jakarta Utara, lalu diboyong
untuk meneruskan pembinaan dari anggota Satya yang saat itu sudah pasif
dari berbagai kegiatan perguruan. Masruri belakangan dikenal sebagai
pengasuh rubrik "Liku-Liku Tenaga Dalam" di harian Suara Merdeka -
Semarang (tahun 1993 - 1996) juga penulis buku-buku tentang tenaga dalam
dan metafisika.
Kehadiran Sidik yang statusnya adalah Guru Besar Budi Suci ke Sirahan
ibarat meneruskan pelajaran lanjutan yang tidak terdapat pada kurikulum
Satya di bawah Soeharto. Selain pembaharuan dalam jurus dasar juga
meneruskan pada materi Jodoh Jurus dan Kembang Jurus ciptaan oleh Abah
Khoir sang pendiri Cimande dan sebagian sudah digubah oleh H Abdul
Rosyid yang di perguruan Satya jurus itu tidak dikenal.
Perguruan Satya Sirahan yang dipimpin H Ali Ridlo dan putranya,
Masruri yang keilmuannya sudah diwarnai Budi Suci ala Sidik yang
kemudian mengembangkan perguruan tenaga dalam di antaranya, HM Sadari di
Kelet, Keling, Jepara, Ustad M Masrur di Cepogo, Bangsri, Jepara,
Suhirlan di Ngaringan Purwodadi dan Sudono, adik kandung H Ali Ridlo
yang berdomisili di Rimbo Bujang, Bungo Tebo, Jambi.
Perkembangan Selanjutnya
Pada tahun-tahun berikutnya, perkembangan perguruan tenaga dalam
layaknya MLM (Multi Level Marketing). Seseorang yang belajar pada suatu
perguruan memilih untuk mendirikan perguruan baru sesuai selera
pribadinya. Ini adalah gejala alamiah yang tidak perlu dimasalahkan,
karena setiap guru atau orang yang merasa mampu mengajarkan ilmu pada
orang lain itu belum tentu sepaham dengan tradisi yang ada pada
perguruan yang pernah diikutinya.
Pertimbangan mengubah nama perguruan itu dilatarbelakangi oleh
hal-hal yang amat kompleks, mulai adanya ketidaksepahaman pola pikir
antara orang zaman dulu yang mistis dan kalangan modernis yang
mempertimbangkan sisi kemurnian aqidah dan ilmiah, disamping
pertimbangan dari sisi komersial. Yang pasti, misi orang mempelajari
tenaga dalam pada masyarakat sekarang sudah mulai berubah dari yang
semula berorientasi pada ilmu kesaktian menuju pada gerak fisik (olah
raga) karena orang sekarang menganggap lawan berat yang sesungguhnya
adalah penyakit. Karena itu, promosi perguruan lebih mengeksploitasi
kemampuan mengobati diri sendiri dan orang lain.
Aliran perguruan tenaga dalam yang mengeksploitasi kesaktian kini
lebih diminati masyarakat tradisional. Dan menurut pengamatan beberapa
pihak, perguruan ini justru sering “bermasalah” disebabkan pola
pembinaan yang menggiring penganutnya pada sikap “kejawaraan” melalui
doktrin-doktrin yang kurang bersahabat pada aliran lain dari sesama
perguruan tenaga dalam maupun bela diri dari luar (asing).
Sikap ini sebenarnya bertentangan dengan sikap para tokoh seperti
Bang Kari yang selalu wanti-wanti agar siapapun yang mengamalkan bela
diri untuk selalu memperhatikan “sikap 5” yaitu :
Jangan cepat puas.
Jangan suka pamer.
Jangan merasa paling jago.
Jangan suka mencari pujian dan
Jangan menyakiti orang lain.
Dan perlu diingat, perkembangan pencak silat sebagai dasar dari
tenaga dalam itu, baik pelaku maupun keilmuannya dapat berkembang karena
silaturahmi antar tokoh, mulai dari silat Pagar Ruyung Padang yang
dibawa H Kosim (Syahbandar), Bang Kari dan Bang Madi yang merangkum
silat Betawi dengan Kung Fu, juga Abah Khoir dengan Cimandenya, RH.
Ibrahim dengan Cikalongnya.
Rangkapan Fisik
Setiap perguruan tenaga dalam memberikan sumbangsih tersendiri bagi
masyarakat Indonesia. Margaluyu menorehkan tinta emas sebagai perguruan
tua yang banyak mengilhami hampir sebagian besar perguruan di Indonesia,
dan cabang-cabang dari perguruan ini banyak berjasa bagi pengembangan
tenaga dalam yang ilmiah dan universal.
Sin Lam Ba, Al-Hikmah, Silat Tauhid Indonesia berjasa dalam
memberikan napas religius bagi pesertanya, dan aliran Nampon berjasa
dalam memberikan semangat bagi para pejuang di era kemerdekaan.
Terlepas dari sisi positif dari aliran-aliran besar itu, pengembangan
aliran tenaga dalam yang kini masih memilih corak pengembangan bela
diri dan kesaktian itu justru mendapat kritik dari para pendahulunya.
Pada tahun 1984 Alm. Sidik murid dari H Abdul Rosyid saat berkunjung
ke Desa Sirahan, Cluwak, Pati dan menyaksikan cara betarung (peragaan)
suatu perguruan “pecahan” dari Budi Suci, menyayangkan kenapa sebagian
besar dari siswa perguruan tenaga dalam itu sudah meninggalkan teknik
silat (fisik) sebagai basic tenaga dalam.
Artinya, saat diserang mereka cenderung diam dan hanya mengeraskan
bagian dada/perut. Kebiasaan ini menurutnya suatu saat akan menjadi
bumerang saat harus menghadapi perkelahian diluar gelanggang latihan.
Karena saat latihan hanya dengan “diam” saja sudah mampu mementalkan
penyerang hingga memberikan kesan bahwa menggunakan tenaga dalam itu
mudah sekali.
Mereka tidak sadar bahwa dalam perkelahian di luar gelanggang latihan
itu, suasananya berbeda. Dalam arena latihan yang dihadapi adalah teman
sendiri yang sudah terlatih dalam menciptakan emosi (amarah).
Cara bela diri memanfaatkan tenaga dalam yang benar menurut Alm.
Sidik sudah dicontohkan oleh Nampon saat ditantang jawara dari Banten
dan saat akan dicoba kesaktiannya oleh KM Tamim. Yaitu, awalnya mengalah
dan berupaya menghindar namun ketika lawan masih memaksa menyerang,
baru dilayani dengan jurus silat secara fisik, menghindar, menangkis dan
pada saat yang dianggap tepat memancing amarah dengan tamparan ringan
dan setelah penyerang emosi, baru menggunakan tenaga dalam.
Pola pembinaan bela diri yang tidak lengkap yang hanya fokus pada
sisi batin saja, sering menjadi bumerang bagi mereka yang sudah merasa
memiliki tenaga dalam sehingga terlalu yakin bahwa bagaimanapun bentuk
serangannya, cukup dengan diam (saja) penyerang pasti mental. Dan ketika
mereka menghadapi bahaya yang sesungguhnya, ternyata menggunakan tenaga
dalam tidak semudah saat berlatih dengan teman seperguruannya.
Fenomena pembinaan yang sepotong-potong ini tidak lepas dari
keterbatasan sebagian guru yang pada umumnya hanya pernah “mampir” di
perguruan tenaga dalam. Sidik mengakui banyak orang yang belajar di Budi
Suci hanya bermodal “jurus dasar” saja sudah banyak yang berani membuka
perguruan baru. Padahal dalam Budi Suci itu terdapat 3 tahapan jurus.
Yaitu, Dasar Jurus – Jodoh Jurus dan Kembang Jurus (ibingan).
Karena tergesa-gesa ingin membuka aliran baru itu menyebabkan siswa
sering tidak siap disaat harus menggunakan tenaga dalamnya. Dan Yosis
Siswoyo dari Bandarkarima memberikan konsep bahwa keberhasilan
memanfaatkan tenaga dalam ditentukan dari prinsip “min-plus” yang dapat
diartikan : Biarkan orang berniat jahat (marah), aku memilih untuk tetap
bertahan dan sabar.
Karena itu pembinaan fisik, teknik bela diri fisik, teknik,
kelenturan, refleks dan mental bertarung perlu ditanamkan terlebih
dahulu karena kegagalan memanfaatkan tenaga dalam lebih disebabkan
mental yang belum siap sehingga orang ingat punya jurus tenaga dalam
setelah perkelahian itu sudah usai.
Berdasarkan pengamatan, tenaga dalam berfungsi baik justru disaat
pemiliknya “tidak sengaja” dan terpaksa harus bertahan dari serangan
orang yang berniat jahat. Dan tenaga dalam itu sering gagal justru
disaat tenaga dalam itu dipersiapkan sebelumnya untuk “berkelahi” dan
akan lebih gagal total jika tenaga dalam itu digunakan untuk mencari
masalah.
Tenaga dalam harus bersifat defensif atau bertahan. Biarkan orang
marah dan tetaplah bertahan dengan sabar dan tak perlu mengimbangi
amarah. Sebab jika pemilik tenaga dalam mengimbangi amarah, maka
rumusnya menjadi “plus ketemu plus” yang menyebabkan energi itu tidak
berfungsi. Dan dalam hal ini Budi Suci menjabarkan konsep “min – plus”
itu dengan sikap membiarkan lawan “budi” (bergerak/amarah) dan tetap
mempertahankan “suci” (sabar, tenang).
Memposisikan diri tetap bertahan (sabar, tenang) sangat ditentukan
tingkat kematangan mental. Dan pada masa Nampon dan H Abdul Rosyid,
tenaga dalam banyak berhasil karena dipegang oleh pendekar yang sudah
terlatih bela diri secara fisik (sabung) sehingga saat menghadapi
penyerang mentalnya tetap terjaga.
Sekarang semua sudah berubah. Orang belajar tenaga dalam sudah
telanjur yakin bahwa serangan lawan tidak dapat menyentuh sehingga fisik
tidak dipersiapkan menghindar atau berbenturan. Dan karena tidak
terlatih itu disaat melakukan kontak fisik, yang muncul justru rasa
takut atau bahkan mengimbangi amarah hingga keluar dari konsep
“min-plus”.
Sejarah tentang tenaga dalam perlu diketahui oleh mereka yang mengikuti
suatu aliran tenaga dalam. Ketidaktahuan tentang sejarah itu dapat
menggiring seseorang bersikap kacang lupa kulit, bahkan memunculkan
“anekdot spiritual” sebagaimana dilakukan seorang guru tenaga dalam yang
karena ditanya murid-muridnya dan ia tidak memiliki jawaban lalu
menjelaskan bahwa orang-orang yang ditokohkan dalam perguruan itu dengan
jawaban yang mengada-ada.
Misalnya, Saman adalah seorang Syekh dari Yaman, Madi disebut sebagai
Imam Mahdi, Kari adalah Imam Buchori, Subandari adalah Syeh Isbandari.
Dan jawaban seperti itu tidak memiliki dasar dan konon hanya berdasarkan
pada kata orang tua semata.
diambil dari WIkipedia
ok
BalasHapus